Komisioner Komisi Nasional Anti- Kekerasan terhadap Perempuan( Komnas Perempuan) Andy Yentriyani menyebut kalau ketentuan aparatur sipil negeri( ASN) Jakarta boleh berpoligami yang tertuang di Peraturan Gubernur( Pergub) no 2 tahun 2025 bertabiat diskriminatif.
” Sejalan dengan UU Pernikahan, Pergub Jakarta No 2 Tahun 2025 memperbolehkan aplikasi beristri lebih dari satu dengan alibi yang bertabiat diskriminatif,” kata Andy dalam penjelasan tertulis yang diterima, Pekan( 19/ 1/ 2025).
Ketentuan awal ASN boleh beristri lebih dari satu yang tertuang di Pergub No 2 tahun 2025 merupakan istri tidak bisa melaksanakan kewajibannya.
Bagi Andy, ketentuan tersebut bertabiat sangat subjektif serta mengacu pada konstruksi warga patriaki.
” Menempatkan Perempuan dalam posisi subordinat, dengan peran- peran dalam negeri pengasuhan serta perawatan yang seakan eksklusif jadi tugas Perempuan serta cenderung mengabaikan sebab- akibat dalam tidak terselenggaranya tugas tersebut dalam kedekatan suami serta istri,” ucap Andy.
Ketentuan yang begitu subjektif tersebut dinilai cenderung merugikan Perempuan.
Setelah itu, ketentuan kedua ASN boleh poligami merupakan bila istrinya tidak dapat melahirkan generasi. Ketentuan itu, bagi Andy, pula menampilkan kalau Perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat.
” Alibi tidak bisa melahirkan generasi meneguhkan posisi subordinat Perempuan di dalam warga yang menempatkan evaluasi pada kapasitas reproduksi Perempuan,” kata Andy.
Ketentuan ketiga ASN boleh berpoligami merupakan apabila istrinya hadapi cacat tubuh.
Andy menyebut, alibi ketiga ini betul- betul bertabiat diskriminatif.
” Alibi cacat tubuh ialah perilaku diskriminatif berbasis abelitas terhadap Perempuan penyandang disabilitas,” ucap Andy.
Buat dikenal, dalam Pergub tersebut, ASN laki- laki yang mau berpoligami diharuskan mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang saat sebelum melakukan perkawinan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat 1.
Bila seseorang ASN melanggar ketentuan tersebut serta menikah tanpa izin, mereka hendak dikenakan hukuman disiplin berat cocok dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Tidak hanya itu, hukuman tersebut bisa disesuaikan bersumber pada hasil pengecekan, dengan memikirkan akibat pelanggaran yang dicoba.