Pengamat Hukum serta Pembangunan, Hardjuno Wiwoho mengkritik kebijakan akumulasi jumlah reses di Dewan Perwakilan Wilayah( DPD) pada rentang Oktober sampai Desember 2025, dimana sepatutnya satu kali, jadi 2 kali.
Keputusan buat menaikkan jumlah reses dari 4 kali jadi 5 kali pada tahun sidang terakhir dikira tidak cocok dengan syarat perundang- undangan serta bisa berujung pada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negeri.
Karena, masa reses DPD wajib menjajaki masa reses DPR. Sebaliknya di rentang Oktober sampai Desember 2025, DPR cuma satu kali reses.
” Aku kira, tidak hanya melanggar UU MD3, akumulasi reses ini pasti hendak membagikan tekanan yang berat kepada APBN kita. Ini mencerminkan para pembentuk kebijakan di DPD tidak mempunyai sense of crisis,” kata Hardjuno di Jakarta, Kamis, 15 Januari 2025.
Hardjuno menegaskan, duit pajak rakyat yang dipakai buat membiayai akumulasi reses anggota DPD RI ini sangat besar. Apalagi angkanya menggapai miliaran rupiah.
” Kita ketahui duit reses yang diberikan secara lumsum kepada anggota DPR serta DPD lumayan besar. Jika tidak salah tiap orang menerima lebih kurang 350 juta rupiah sekali reses. Sebaliknya jumlah anggota DPD saat ini 152 orang. Jadi dikalikan saja, berapa duit APBN yang terkuras buat akumulasi reses DPD RI ini,” tegas Hardjuno.
Hardjuno yang pula periset riset perampasan peninggalan di sebagian negeri itu berkata, akumulasi reses DPD RI dapat dikira tidak cocok dengan prinsip efisiensi serta akuntabilitas sebagaimana diatur dalam UU yang mengendalikan pengelolaan keuangan negeri.
” Sepanjang ini agenda persidangan serta reses DPD sudah disinkronkan dengan DPR buat membenarkan guna legislasi, pengawasan, serta representasi berjalan efisien,” katanya.
Dalam pemikiran Hardjuno, langkah akumulasi reses ini bisa mencederai prinsip- prinsip tata kelola keuangan negeri.“ Kami memohon stop menghambur- hamburkan dana APBN buat aktivitas reses ini,” kata ia.
Hardjuno pula menguraikan kalau sikap korup tidak cuma berupa aksi melawan hukum secara langsung, namun pula sikap yang tidak mematuhi prinsip- prinsip bawah pengelolaan keuangan negeri. Dalam konteks ini, prinsip keadilan, transparansi, serta tanggung jawab wajib senantiasa ditegakkan.
Karenanya, ia berharap kritik ini bisa jadi atensi untuk pimpinan DPD RI supaya lebih bijak dalam membuat kebijakan anggaran.“ Kami harapkan, seluruh pihak yang ikut serta berlagak terbuka terhadap kritik serta lekas mengambil langkah korektif buat membetulkan kebijakan yang sudah diambil,” tuturnya.
Tambahan Masa Reses
Sebelumnya, Indonesian Corrupt Workflow Investigation( ICWI), memohon Komisi Pemberantasan Korupsi( KPK) buat menyelidiki dugaan pelanggaran yang terjalin.
Bagi ICWI, akumulasi jumlah reses yang tidak cocok ketentuan berimplikasi pada pemakaian anggaran negeri yang tidak semestinya, paling utama di tengah keadaan fiskal negeri yang defisit.“ Kami menunjang langkah ICWI ini demi tertibnya pengelolaan keuangan negeri,” tutupnya.
Pada periode kepemimpinan DPD sepanjang ini, reses cuma dilaksanakan sepanjang 4 kali pada masa sidang terakhir dari periode keanggotaan.
Dengan demikian, pada masa jabatan 2019–2024, agenda serta kegiatan sidang DPD pada tahun persidangan 2019- 2020 cuma melaksanakan reses 4 kali, sama dengan DPR.
Namun di masa pimpinan DPD masa jabatan 2024–2029, agenda serta kegiatan sidang DPD pada tahun persidangan 2024–2025 diputuskan reses sebanyak 5 kali, sebab terhitung 2 masa reses di bulan Oktober serta Desember 2024 ditambah 3 kali reses pada tahun 2025 di bulan Februari, April, serta Juli.